Search

Senin, 15 April 2013

KETAHANAN PANGAN DARI MASA KE MASA


Ketahanan pangan merupakan sebuah konsep yang pertama kali muncul pada Konferensi Pangan Dunia yang dilaksanakan pada 1974. (Winarno, 2011: 187). Pada tahun 1975, Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) mendefinisikan Ketahanan Pangan sebagai “ketersediaan pangan dunia yang cukup dalam segala waktu untuk menjaga keberlanjutan konsumsi pangan, dan menyeimbangkan fluktuasi produksi dan harga”. Pada 1992, Food and Agricultural Organization (FAO) mengeluarkan definisi Ketahanan Pangan, yaitu “situasi di mana semua orang dalam segala waktu memiliki kecukupan jumlah atas pangan yang aman dan bergizi demi kehidupan yang sehat dan aktif”. 

Pemerintah Indonesia dalam Undang-undang (UU) No. 7 tahun 1996 mendefinisikan Ketahanan Pangan sebagai “Kondisi di mana terjadi kecukupan penyediaan pangan bagi rumah tangga yang diukur dari ketercukupan pangan dalam jumlah dan kualitas dan juga adanya jaminan atas keamanan (safety), distribusi yang merata, dan kemampuan untuk membeli”. Undang-undang ini kemudian dipertegas dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 68 tahun 2002 yang mendefinisikan Ketahanan Pangan sebagai “Kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau”.

Dari beberapa definisi yang dipaparkan di atas, dapat disimpulkan bahwasanya ketahanan pangan terdiri dari beberapa faktor, yaitu ketersediaan (availability), keterjangkauan (accessability), kestabilan (stability), dan keamanan (safety). Dengan demikian, kebijakan sebuah negara terhadap ketahanan pangan harus mempertimbangkan keempat faktor di atas. Pengambilan kebijakan yang keliru dalam ketahanan pangan akan berdampak pada terjadinya ketidakstabilan dalam pemerintahan.

Ketahanan pangan pada masa silam dimulai dengan kegiatan berburu dan mengumpulkan (hunting and food gathering). Kehidupan manusia pada masa itu dapat dipastikan berpindah-pindah tempat dikarenakan mengikuti ketersediaan makanan, terutama mengikuti arah migrasi hewan buruan dan penyesuaian diri terhadap musim. Marwati Djoened Pusponegoro dan Nugroho Notosusanto dalam  Sejarah Nasional Indonesia I (1990:20) menjelaskan bahwasanya dalam kehidupan berburu, pembagian kerja menurut jenis kemungkinan sudah ada. Laki-laki bertugas untuk memburu hewan-hewan besar untuk dijadikan sumber makanan, sedangkan perempuan tetap tinggal di pangkalan yang terdiri dari beberapa gua dengan anak-anak dan orang tua. Perempuan yang tinggal mendapatkan tugas untuk mengumpulkan bahan makanan dalam jarak dekat, seperti hewan-hewan kecil, buah-buahan, biji-bijian, umbi-umbian dan daun-daunan.      

Kebutuhan hidup yang semakin sulit, terutama dipengaruhi oleh ketersediaan makanan dan perubahan lingkungan alam membuat manusia mulai memikirkan cara mempertahankan ketersediaan pangan. Kehidupan pada masa Plestosen berlangsung dengan perubahan iklim yang terjadi berkali-kali. Hal ini membuat manusia berpikir untuk mencoba menguasai dan mempertahankan sumber-sumber alam secara cepat. Menurut Marwati Djoened Pusponegoro dan Nugroho Notosusanto (1990: 167) pada masa ini, manusia mulai memasuki masa bercocok tanam (food producing).     

Pada masa bercocok tanam, manusia mengumpulkan berbagai macam tumbuh-tumbuhan untuk ditanam. Menurut Herimanto (2012: 85) mereka juga mengumpulkan berbagai jenis hewan untuk dipelihara dan dijinakkan, seperti anjing yang digunakan sebagai teman untuk berburu. Pada masa ini mereka juga mulai memanfaatkan hutan-belukar untuk dijadikan ladang-ladang sebagai tempat bercocok tanam. Pembukaan lahan tersebut dilakukan dengan cara menebang pohon-pohon dan membakar semak belukar. Hasil pertanian dari ladang tersebut memenuhi kebutuhan protein nabati manusia, sedangkan protein hewani didapat dari kegiatan berburu dan menangkap ikan yang terus dilakukan. Kegiatan produksi seperti ini terdapat di Eropa, Asia Kecil, Afrika, India, Asia Timur dan Asia Tenggara, termasuk Indonesia, meskipun saat dimulainya kegiatan ini berbeda-beda di masing-masing tempat.

Menurut Andreas Maryoto (2009: 7) migrasi pertama manusia dari daratan Asia ke kepulauan Nusantara diperkirakan terjadi sekitar 5000 tahun Sebelum Masehi. Masyarakat yang melakukan migrasi ini dikenal dengan sebutan Proto-Melayu. Migrasi ini diperkirakan melalui wilayah daratan Semenanjung Malaya yang terhubung dengan wilayah Nusantara bagian barat, seperti Sumatera, Jawa dan Kalimantan. Migrasi ini kemungkinan besar dipengaruhi oleh perubahan iklim dan ketersediaan makanan.

Pada musim dingin, di wilayah daratan Asia terjadi peningkatan suhu hingga mendekati titik beku. Hal ini akhirnya memaksa manusia untuk mencari daerah yang lebih hangat. Pada akhirnya, mereka pun bermigrasi ke daerah Selatan yang memiliki iklim tropis. Suhu yang cukup hangat dengan sinar matahari sepanjang siang, membuat daerah Selatan dipilih menjadi tempat migrasi manusia pada saat itu.

Sekitar 3000 tahun Sebelum Masehi, terdapat kemunculan para pelaut dari ras Mongol yang berasal dari Formosa. Mereka melakukan perjalanan ke daerah Selatan dan menempati berbagai pulau yang disinggahi. Pendatang baru ini mulai mempraktikkan pola pertanian burn and slash (bakar dan tebang). (Read, 2005: 19). Oleh karena itu, mereka membuat kano-kano besar untuk menuju pulau-pulau yang telah mereka datangi tersebut dan menetap disana.

Peradaban bercocok tanam di Nusantara mulai muncul setelah pendatang baru dari Formosa mulai menerapkan cara-cara menanam padi, tebu, pisang dan keladi. Selain itu, mereka juga membawa sukun, sagu dan kelapa sebagai bahan makanan dalam bepergian. Mereka juga membawa hewan domestik seperti babi, anjing dan ayam. Pada akhirnya, kita dapat mengetahui bahwa berbagai jenis tanaman dan hewan tersebut dapat ditemukan di hampir seluruh wilayah Nusantara.

Marwati Djoened Pusponegoro dan Nugroho Notosusanto dalam Sejarah Nasional Indonesia I (1990: 8) menjelaskan bahwa masuknya berbagai peradaban ke Nusantara tentunya akan berpengaruh terhadap peradaban lokal. Peradaban yang masuk ke daerah baru dapat dipastikan membawa juga peradaban dari daerah asal. Masuknya peradaban India ke Nusantara dapat dijadikan contoh. Penduduk India yang bermigrasi ke Nusantara memperkenalkan sistem padi sawah dengan ciri adanya penggunaan bajak sawah dang pengaturan irigasi yang lebih maju. Sejak saat itu, teknik bercocok tanam yang lebih maju, terutama dalam budidaya padi mulai dikenal di Nusantara.

Marwati Djoened Pusponegoro dan Nugroho Notosusanto dalam Sejarah Nasional Indonesia II (1990: 30) juga menjelaskan bahwa masuknya peradaban India ke Nusantara ternyata juga berpengaruh pada berdirinya berbagai kerajaan yang bercorak Hindu-Buddha. Kerajaan Hindu-Buddha banyak tersebar di wilayah Nusantara, terutama di bagaian Barat yang terkena pengaruh langsung dari India. Bukti tertua yang menunjukkan adanya suatu kehidupan bercorak keindiaan terdapat di Sulawesi Selatan dan Kalimantan Timur. Arca Buddha yang terbuat dari perunggu ditemukan di Sempaga, Sulawesi Selatan, sedangkan di Kalimantan Timur ditemukan pula sejumlah arca Buddha yang memperlihatkan langgam seni arca Gandara.

Kerajaan Kutai merupakan kerajaan tertua di Nusantara. Keberadaan kerajaan ini dapat diketahui dari ditemukannya tujuh buah prasasti yang dipahatkan di tiang batu yang disebut dengan yupa. R.M.Ng Poerbatjaraka dalam Sejarah Nasional Indonesia II (1990: 31) menjelaskan bahwasanya berdasarkan analisis huruf yang dipahatkan, yupa tersebut berasal dari awal abad V Masehi dengan menggunakan bahasa Sansekerta. Dalam prasasti tersebut diceritakan bahwa pada masa tersebut Raja Mulawarman mengadakan kenduri dan tugu batu tersebut didirikan sebagai penghormatan terhadap kenduri tersebut.

Dalam prasasti lain dengan redaksi yang berbeda, disebutkan bahwasanya Sang Mulawarman telah memberi sedekah 20.000 ekor sapi kepada Brahmana. Untuk memperingati kebaikan raja, para Brahmana pun mendirikan tiang batu tersebut. Dari prasasti tersebut dapat diketahui bahwasanya, kerajaan Kutai telah memiliki sebuah peradaban dalam peternakan sapi. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwasanya upaya ketahanan pangan pada masa tersebut sudah cukup, paling tidak bagi golongan atas dari kasta Hindu.

Sejak awal berdirinya Kerajaan Mataram, beras telah menjadi perhatian yang serius dari pendirinya yaitu Ki Ageng Pemanahan. Tanah Mataram awalnya hanyalah sebuah hutan dibandingkan daerah lain yang subur. Berkat perhatian penuh Raja, maka kawasan yang dulunya hutan mampu dirubah daerah pertanian yang subur. Akhirnya, Mataram menjadi negeri yang makmur dengan kebutuhan pangan yang mencukupi dan sawah melimpah.

Pada masa tradisional, beras merupakan sebuah indikator stabilitas ekonomi dan politik serta kemakmuran sebuah kerajaan. Melimpahnya beras dalam sebuah kerajaan menjadi indikator bahwa kerajaan tersebut mengalami kemakmuran, sehingga stabilitas politik kerajaan pun terjamin. Selain sebagai indicator stabilitas, beras juga diidentikkan dengan muncul ramalan kekuasaan. Raden Mas Said yang kemudian dikenal dengan Mangkunegara I disebutkan bahwasanya apabila ia tidak berkuasa, maka rezeki tanah jawa akan berkurang yang berakibat pada kurangnya pasokan beras di Jawa. (Maryoto, 2009: 98).

Kebutuhan akan pasokan pangan juga dapat dijadikan sebagai bagian dari strategi perang. Pada masa perluasan pengaruh kerajaan Mataram, perhitungan terhadap pasokan pangan selalu diutamakan, di samping pengetahuan wilayah yang akan ditaklukkan. Strategi ini juga dilakukan ketika Mataram terjadi konflik dengan VOC di Kartasura. Pasukan Mataram mengisolasi daerah pertahanan VOC, sehingga pasokan pangan ke daerah tersebut berhenti. Pada akhirnya, pimpinan VOC pun menyatakan menyerah hingga bisa mendapatkan pasokan pangan.  

Thomas Stamford Raffles dalam bukunya The History of Java (2008: 70) menyatakan bahwasanya pulau Jawa sangat subur untuk pertanian. Sektor pertanian merupakan sumber mata pencaharian yang sangat utama. Ia mengatakan bahwa bangsa Jawa adalah bangsa petani yang memiliki struktur masyarakat yang khas.
"Pulau Jawa sangat bagus untuk pertanian; tanahnya sangat subur. Para petani tidak hanya menanam sebatas untuk memenuhi kebutuhan dasarnya, tetapi juga untuk memenuhi kebutuhan lainnya, seperti membeli barang-barang kebutuhan yang sedikit mewah. Bangsa Jawa adalah bangsa petani, dan akhirnya membentuk struktur masyarakat yang khas. Petani mendapat uang dari tanamannya, prajurit dari upahnya, pegawai dari gajinya, para ulama dari sumbangan (zakat), dan pemerintah dari hasil pajak. Kekayaan suatu desa atau satu propinsi tergantung dari luas dan kesuburan tanahnya, sistem pengairannya, serta jumlah kerbau yang dimiliki."
Pada masa Soekarno, terjadi krisis pangan yang dapat dibagi dalam tiga babak. Babak pertama adalah ketika Soekarno selepas mahasiswa terjun ke dunia politik. Sejumlah tulisan Soekarno yang diterbitkan menjadi buku berjudul Di Bawah Bendera Revolusi menyiratkan kegelisahannya terhadap kesulitan pangan yang dihadapi oleh rakyat. Babak kedua adalah ketika Soekarno “bekerjasama” dengan Jepang dalam menghadapi masalah ekonomi. “kerjasama” ini dianggap sebagai kolaborasi dan tidak nasionalis. Namun, di tengah tuduhan tersebut, Soekarno tetap mencari akal agar rakyat tetap aman di tengah upaya Jepang untuk mengambil beras milik rakyat sebagai logistik perang.

Babak ketiga krisis pangan yang dihadapi oleh Soekarno terjadi menjelang akhir kepemimpinannya. Dalam buku Penjambung Lidah Rakjat, Soekarno mencoba menguraikan kesibukannya dalam mempelajari angka-angka terakhir produksi beras. Pada krisis pangan kali ini, Soekarno beralasan bahwa produksi beras Indonesia meningkat dua kali lipat, tetapi impor beras hampir satu juta dolar AS setahun tetap saja dilakukan. Hal ini dikarenakan peningkatan penduduk yang tidak seimbang dengan pertambahan produksi beras yang memadai. Selain itu, Soekarno juga menghadapi para spekulan yang mengancam pasokan beras nasional. Oleh karena itu, Soekarno pun tidak segan untuk mengancam hukuman mati bagi para pengacau ekonomi, yaitu mereka yang menaikkan harga beras hingga melambung tinggi dan melakukan penumpukan beras. (Maryoto, 2009: 127).

Sumber Bacaan:

Herimanto. 2012. Sejarah Indonesia Masa Praaksara. Jakarta: Penerbit Ombak.

Maryoto, Andreas. 2009. Jejak Pangan: Sejarah, Silang Budaya dan Masa Depan. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Pusponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto. 1990. Sejarah Nasional Indonesia I. Jakarta: Balai Pustaka.

_________. 1990. Sejarah Nasional Indonesia II Jakarta: Balai  Pustaka.

Read, Robert Dick. 2005. Penjelajah Bahari: Pengaruh Peradaban Nusantara di Afrika. Bandung: Penerbit Mizan.

Raffles, Thomas Stamford. 2008. The History of Java. Penerjemah Eko Prasetyaningrum, Nuryati Agustin dan Idda Qoryati Mahbubah. Yogyakarta: Penerbit Narasi.

Winarno, Budi. 2011.  Isu-isu Global Kontemporer. Yogyakarta: CAPS

Tidak ada komentar:

Posting Komentar